Tag: Iklim

Walhi Ingatkan Pentingnya Capres-Cawapres Punya Langkah Strategis soal Perubahan Iklim

Liputan6.com, Jakarta Isu perubahan iklim sering kali terlupakan dalam kampanye calon presiden dan wakil presiden. Padahal, perubahan iklim semakin nyata.

Jelang pendaftaran bakal capres dan cawapres, belum ada calon yang memaparkan pandangannya mengenai isu perubahan iklim.

Oleh karena itu, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi, mengingatkan agar bakal capres-cawapres memahami dan memiliki langkah strategis untuk mengatasi climate change. 

“Sayangnya saya melihat para elite politik baik itu partai politik maupun kandidat-kandidat capres itu belum ada yang mempunyai pandangan strategis terhadap perubahan iklim,” ujar Zenzi Suhadi ketika dihubungi Liputan6.com, Senin 4 September 2023.

Menurut dia, perubahan iklim merupakan isu mendesak dan harus segera diatasi.

Dia memaparkan dampak nyata perubahan iklim. Petani, kata dia, dalam 2 tahun terakhir menghadapi dampaknya. Misalnya, lada di Bengkulu yang mengalami kematian massal dalam 2 tahun terakhir.

“Yang kedua di wilayah timur Indonesia, sudah 2 tahun cengkeh tidak berbuah. Nah, dampak ini sebenarnya bencana besar terhadap manusia dalam hal ini petani semestinya negara itu menghitung kerugian besar ini ada beberapa ribu petani lada dan petani cengkeh yang sebenarnya mengalami kerugian belum lagi kampung-kampung yang mulai tenggelam seperti di pantai barat Sumatera dan di Jawa,” kata Zenzi. 

“Berarti kalau melihat kondisi yang ada sudah sangat urgent untuk capres-cawapres mengangkat isu-isu perubahan iklim sebagai bahan kampanye yang akan dijanjikan dan tentunya harus diselesaikan,” lanjut dia.

 

 

Kanal Banjir Timur Surut Akibat Perubahan Iklim, Ini Penjelasan BMKG

Sementara itu, Supari juga menjelaskan bahwa musim kemarau diperkirakan akan berlangsung lebih panjang dari biasanya. Hal ini dikarenakan fenomena El Nino menyebabkan banyak wilayah yang mengalami musim kemarau berkepanjangan. 

“Hal ini tentu saja akan berdampak pada tersedianya air untuk aliran sungai. Bukan hanya itu, kebutuhan air masyarakat mengalami kekurangan bahkan kekeringan tergantung daerah masing-masing,” jelas Supari.

Namun, ia menilai saat ini masyarakat mengalami kekeringan dengan ditandai banyaknya pemberitaan di media mengenai bantuan air oleh pemerintah daerah. 

BMKG Minta Masyarakat Hemat Air

BMKG meminta masyarakat untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi iklim. Hal ini diungkap Supari kepada wartawan Liputan6.com. Dia mengatakan kekeringan ini tidak akan bisa dicegah. Apalagi daerah-daerah yang supply airnya mengandalkan sumur-sumur buatan, maka yang bisa dilakukan adalah gerakan menghemat air.

“Wilayah Jabotabek ini diperkirakan South September-Oktober itu kondisi-kondisi masih kering. Jadi November itu baru masuk musim hujan sehingga kita masih akan mengalami kondisi seperti ini setidak-tidaknya September-Oktober,” katanya.

Untuk menjaga supaya kebutuhan air itu tetap terpenuhi Supari meminta masyarakat untuk hemat air. Kemudian, daerah-daerah yang masih menggunakan fasilitas seperti PDAM, perlu melakukan penyesuaian karena sangat mungkin sumber air yang digunakan pemerintah dalam memproduksi air PDAM itu juga mengalami defisit.

“Mungkin saja akan mengalami pengurangan aliran air ke pelanggan, sangat tergantung kepada kondisinya. Atau pada kondisi sumber air yang tidak cukup mungkin akan terjadi pengaturan ulang di mana air tidak mengalir sepanjang waktu, sehingga ini perlu diantisipasi oleh masyarakat,” tuturnya. 

“Kalau sekarang belum terjadi, ya berarti sekarang harus bersiap untuk kemungkinan kondisi itu dengan cara mengatur pola penggunaan air di level masyarakat,” tambahnya. 

 

Pendidihan Global, Peringatan akan Perubahan Iklim yang Ekstrem?

Beberapa pekan lalu, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) António Guterres, juga menyebut saat ini dunia berada pada masa pendidihan global, bukan lagi pemanasan global.

“Perubahan iklim sudah ada di sini. Itu menakutkan. Dan ini baru permulaan. Kita masih mungkin membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celsius dan menghindari perubahan iklim yang paling buruk. Tapi hanya dengan aksi yang dramatis dan langsung,” kata Guterres yang dikutip dari laman PBB.

Pernyataan Guterres tersebut sebagai bentuk respons laporan para ilmuwan yang menyebut Juli 2023 menjadi bulan terpanas sepanjang sejarah. Hal ini berdasar data terbaru dari Organisasi Meteorologi Dunia/World Meteorological Organization (WMO) dan Layanan Perubahan Iklim Copernicus Komisi Eropa/European Commission’s Copernicus Climate Change Service (C3S).

Guterres berharap dunia dapat lepas dari sektor bahan bakar fosil sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar. Selain itu, dia juga mendesak perusahaan-perusahaan, kota-kota, hingga lembaga-lembaga keuangan untuk menghadiri Konferensi Ambisi Iklim dengan membawa rencana perubahan yang kredibel.

“Tak ada lagi greenwashing. Tak ada lagi penipuan. Dan tak ada lagi distorsi terang-terangan terhadap hukum antimonopoli untuk menyabotase aliansi nol emisi,” jelas Guterres.

Istilah pendidihan global menjadi hal yang baru di masyarakat. Pengamat iklim Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dodo Gunawan menyebut pernyataan António Guterres merupakan penegasan terkait pemanasan global yang sudah pada tahap memprihatinkan. 

Sebab, Perjanjian Iklim Paris (Paris Climate Agreement) yang disetujui pada 2015 berusaha membatasi pemanasan global hingga jauh di bawah 2 celcius, tapi lebih baik pada 1,5 celcius sampai akhir abad ini untuk memerangi perubahan iklim.

“Itu perumpamaan yang sudah sangat mengkhawatirkan terkait dengan pemanasan global. Kondisinya sudah bisa dilihat situasi yang ada saat ini. Saya catat sampai bulan Mei, itu semua sudah mencapai rapor tertinggi,” kata Dodo kepada Liputan6.com.

Dia menjelaskan, pada tahun 2023, pemanasan global digambarkan terjadi saat memasuki El Nino. Hal tersebut seperti halnya yang terjadi pada saat 2019. Kondisi saat ini kata dia, merupakan salah satu dampak dari adanya peningkatan suhu panas. Atau selisih anomali suhu udara rata-rata tahunan terus mengalami peningkatan.

“Termasuk wilayah Indonesia. Analisis suhu, ada tren kecenderungan yang terus meningkat dari waktu ke waktu seperti halnya peningkatan global. Di samping itu tentu selain ada tren kenaikan suhu meningkat, ada fluktuasi dari waktu ke waktu musim ke musim,” dia menjelaskan.

Pendidihan Global Bentuk Peringatan

Hal yang sama juga disampaikan ahli cuaca dari Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG) Deni Septiadi. Dia menyebut istilah pendidihan global yang disampaikan Guterres merupakan bentuk peringatan kepada semua pihak bahwa kondisi iklim yang sedang tidak baik-baik saja. 

“Secara global terjadi peningkatan yang esktrem, kemudian tentu saja semua orang harus mulai memikirkan bagaimana kondisi potensi perubahan iklim dan pemanasan global yang terjadi sekarang ini,” kata Deni kepada Liputan6.com

Karena hal itu, dia mendorong semua pihak harus dapat menurunkan berbagai sektor yang dapat menyumbangkan emisi gas rumah kaca. Namun, Deni menilai, di zaman modern banyak pembangunan yang seringkali lupa untuk memperhatikan karakteristik ataupun kondisi lingkungan wilayah tersebut.

“Jadi lingkungan rusak itu indikasi dari potensi dari perubahan iklim. Tidak ada lahan terbuka hijau karena memang lahan sudah tertutupi aspal dan bangunan dan sebagainya. Ini indikasi ruangan yang ada itu sudah sulit untuk menghasilkan, yang mampu meredam gas rumah kaca tadi,” papar dia.

Selain itu, Deni juga menyoroti terkait kebijakan penggunaan kendaraan listrik yang dapat mencegah potensi peningkatan gas rumah kaca. Yaitu terkait berbagai komponen yang digunakan.

“Tapi memang komponen-komponennya jadi pertanyaan para peneliti karena industri baterai. Memang salah satunya, perlu juga untuk dipertimbangkan dalam menjaga kondisi lingkungan yang benar bebas emisi karbon tadi,” ujar Deni.